eCourt dan Ancaman Eksklusi Akses Hukum
oleh: Syarifudin Tayeb, S.Ag., M.H.
Digitalisasi peradilan melalui e-Court digadang-gadang sebagai simbol modernisasi hukum di Indonesia. Namun, perlu diingat: keadilan bukan hanya soal cepat dan transparan, melainkan juga soal siapa yang bisa mengaksesnya. Dalam praktiknya, kebijakan ini masih berpotensi menciptakan eksklusi hukum, khususnya bagi penyandang disabilitas dan kelompok masyarakat dengan kerentanan ekonomi.
Pertama, kerentanan ekonomi menjadi hambatan nyata. Masyarakat miskin ekstrem yang bahkan kesulitan memenuhi kebutuhan pokok tentu akan semakin sulit mengakses layanan hukum berbasis aplikasi. Ketiadaan perangkat Android, keterbatasan kuota internet, hingga literasi digital yang rendah menjadikan e-Court hanya bisa diakses oleh kelompok menengah ke atas. Alih-alih mendekatkan keadilan, digitalisasi justru bisa memperlebar kesenjangan hukum antara si kaya dan si miskin.
Kedua, akses hukum bagi penyandang disabilitas juga luput dari perhatian. Aplikasi e-Court belum sepenuhnya dirancang dengan prinsip accessibility by design. Misalnya, tidak semua tampilan aplikasi ramah bagi pengguna tunanetra dengan pembaca layar, atau mudah digunakan oleh penyandang disabilitas intelektual yang membutuhkan pendampingan lebih intensif. Padahal, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas jelas mengamanatkan adanya aksesibilitas dalam layanan publik, termasuk layanan hukum.
Ketiga, kebijakan e-Court belum berbasis data inklusif. Target kinerja yang dipublikasikan hanya menekankan jumlah perkara elektronik atau jumlah satker yang sudah menerapkan sistem digital, tanpa menyajikan data mengenai kelompok masyarakat yang tertinggal dalam akses. Tidak ada peta kerentanan yang mengukur bagaimana e-Court berdampak pada kelompok miskin ekstrem, disabilitas, atau masyarakat di daerah dengan infrastruktur internet lemah. Tanpa data ini, digitalisasi hukum hanya menjadi etalase modernisasi, bukan instrumen pemerataan keadilan.
Oleh karena itu, kebijakan e-Court harus diiringi dengan strategi akses inklusif, seperti penyediaan layanan hibrida (manual dan digital), subsidi perangkat atau kuota internet bagi kelompok rentan, serta pengembangan fitur ramah disabilitas. Jika tidak, digitalisasi peradilan hanya akan menghadirkan keadilan semu yang ramah teknologi, tetapi abai pada mereka yang paling membutuhkan hukum.